OELAMASI, Kupang-media.net | Direktur Operasional PT. Bakti Alam Indonesia Timur (PT. BAIT), Puji Setiawan Dipraja, melontarkan peringatan tegas sekaligus ajakan strategis kepada pemerintah daerah, koperasi, dan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT): jangan biarkan kekayaan alam daerah dikelola hanya untuk kepentingan pihak luar. Menurutnya, saatnya warga dan lembaga lokal menjadi pengelola utama — menjadi “tuan di rumah sendiri”.
Dalam pertemuan dengan pemangku kepentingan desa dan perangkat daerah, Puji memaparkan model pengelolaan SDA yang mengedepankan kedaulatan ekonomi lokal, kepastian hukum, dan perlindungan lingkungan. “Kita kelola sumber daya alam ini secara baik dan benar, supaya hasilnya dinikmati oleh masyarakat yang diberkati Tuhan di daerah tempat tinggal mereka,” ujarnya.
Salah satu gagasan utama yang diusung adalah penguatan Koperasi Merah Putih sebagai wadah usaha rakyat yang memiliki legal standing kuat. Puji menegaskan koperasi bukan sekadar pembeli, tapi harus menjadi mitra produksi—memiliki izin usaha, Nomor Induk Berusaha (NIB), NPWP, dan mengajukan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). IPR, kata Puji, memberikan kepastian usaha hingga 10 tahun dan menjadi landasan agar manfaat ekonomi tetap berada di tangan komunitas lokal.
Untuk menghindari proyek besar yang berisiko gagal, PT. BAIT merencanakan pembangunan pabrik konsentrasi skala awal. Strategi ini dimaksudkan untuk memproses material di tingkat lokal sehingga nilai tambah tetap tertahan di wilayah asal sebelum ada investasi pabrik besar. “Kita mulai dari yang kecil dulu. Jangan bikin pabrik besar yang nanti mati karena bahan baku atau pasar tak pasti,” ujar Puji.
Aspek lingkungan menjadi salah satu pilar kebijakan. Puji menegaskan setiap kegiatan tambang rakyat harus dilengkapi dokumen lingkungan seperti UKL-UPL dan rencana rehabilitasi pasca-tambang. Dengan landasan hukum dan dokumen lingkungan yang lengkap, pengelolaan SDA dapat berjalan berkelanjutan tanpa merusak ekosistem setempat.
Namun, transformasi ini bukan tanpa tantangan. Puji mengakui akan ada pro-kontra serta resistensi dari berbagai pihak. Kepercayaan masyarakat yang sempat terkikis karena praktik masa lalu harus dibangun kembali melalui transparansi, keterbukaan informasi, dan partisipasi publik. “Ketidakpercayaan itu manusiawi. Tapi mari kita tanyakan pada hati kita: apakah kita ingin membiarkan potensi ini terbuang atau kita kelola untuk kesejahteraan anak cucu?” katanya.
Ia juga mengajak pemerintah daerah untuk aktif memfasilitasi proses perizinan dan memberikan dukungan teknis bagi koperasi. Kolaborasi lintas institusi—antara BUMD, BUMN, koperasi, dan pemangku adat—menjadi kunci agar nilai tambah produksi tetap berada di Kupang dan sekitarnya.
Para pengamat dan pegiat pemberdayaan lokal menyambut wacana ini secara hati-hati optimistis. Model berbasis koperasi dan pabrik konsentrasi kecil dapat menjadi solusi nyata jika diikuti regulasi ketat, pengawasan independen, dan pendampingan teknis yang memadai.
Puji menutup pernyataannya dengan pesan moral: sumber daya alam bukan sekadar komoditas; ia adalah warisan. “Batu ini bukan kutukan. Ini berkah. Tugas kita mengelolanya dengan jujur, beretika, dan legal agar manfaatnya kembali ke rumah kita sendiri,” tutupnya.