OELAMASI, kupang-media.net | Bupati Kupang, Yosef Lede,Sabtu (20/9/2025) turun langsung ke sawah melakukan panen perdana padi seluas 25 hektar milik Kelompok Tani Sehati, Desa Mata Air Tarus, Kecamatan Kupang Tengah. Momen itu tak hanya menjadi seremoni panen, melainkan juga panggung janji besar: swasembada beras di Kabupaten Kupang.
“Sejatinya hasil itu datang dari niat. Kalau ada lahan tapi tidak ada niat, maka sia-sia. Tahun ini diharapkan ada swasembada beras,” kata Yosef, penuh optimisme.
Namun, optimisme itu segera menguji realitas. Kabupaten Kupang memang dikenal sebagai lumbung pangan untuk Kota Kupang. Tapi 80 persen masyarakatnya adalah petani kecil dengan keterbatasan modal, teknologi, dan akses pasar. Di banyak tempat, lahan tidur masih terbentang luas, sementara irigasi kerap jadi momok yang tak kunjung tuntas.
Bupati Lede menyebut Kupang Tengah dan Kupang Timur sebagai pusat proyek pertanian menuju swasembada. Ia pun menekan peran penyuluh agar lebih konkret, “memberikan ilmu, mengarahkan pola tanam, dan mendampingi petani.” Tanpa langkah teknis yang jelas, ambisi swasembada rawan terperangkap dalam retorika panggung panen raya.
Nada serupa datang dari Kepala Dinas Pertanian Provinsi NTT, Joaz Umbu Wanda. Ia mengingatkan sektor pertanian adalah penopang ekonomi masyarakat, tapi syaratnya ada kolaborasi nyata untuk meningkatkan produktivitas. Perwakilan Bank Indonesia, Yos Boli Sura, bahkan menegaskan perlunya lompatan: penerapan smart farming dan peningkatan kompetensi petani.
Swasembada pangan memang bukan sekadar panen seremonial. Ia membutuhkan konsistensi kebijakan, infrastruktur irigasi, akses pembiayaan, serta keberanian pemerintah daerah memutus rantai tengkulak yang mencekik petani.
Bupati Yosef Lede boleh menabuh optimisme di tengah hamparan sawah, tetapi publik menunggu bukti: apakah Kabupaten Kupang sungguh siap keluar dari jebakan krisis pangan musiman, atau hanya mengulang janji-janji swasembada yang berakhir pada seremoni serupa tahun depan.