Oelamasi, kupang-media.net | Majelis Hakim Pengadilan Negeri Oelamasi menjatuhkan putusan bebas terhadap Gasper Tipnoni, terdakwa dalam kasus dugaan pencurian pisang cavendish, Senin pagi, 14 Juli 2025. Sidang yang berlangsung terbuka itu menjadi sorotan luas masyarakat Kabupaten Kupang, setelah kasus yang semula tampak remeh—soal pisang—menyeret seorang petani miskin ke ruang tahanan selama tiga bulan.
Putusan bebas ini dibacakan dengan alasan bahwa tidak terdapat bukti kuat dan meyakinkan untuk menyatakan Gasper bersalah, baik dalam dakwaan primer maupun subsider yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hakim menyatakan pembuktian dari pihak kejaksaan tidak cukup memenuhi unsur pidana pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP.
Penasihat hukum Gasper dari LBH Surya NTT, Ferdianto Boimau, menyambut gembira putusan ini. “Hari ini, keadilan tidak hanya berbicara, tapi juga berdiri tegak. Putusan ini bukan hanya kemenangan bagi Gasper, tapi juga sinyal bahwa aparat peradilan kita masih memiliki nurani,” ujar Ferdianto dengan suara bergetar.
Namun, euforia atas putusan bebas ini segera diselimuti kenyataan pahit: Gasper telah kehilangan tiga bulan hidupnya akibat proses hukum yang, menurut kuasa hukumnya, sarat kelemahan sejak awal. Ia ditahan tanpa bukti yang sahih dan hanya mengandalkan asumsi dari laporan sepihak.
“Kami tidak bisa mengabaikan bahwa Gasper sudah dihukum oleh sistem dan oleh opini publik. Ia telah distigma sebagai pencuri sebelum ada vonis. Ini bukan sekadar malpraktik hukum, ini bentuk kekerasan struktural,” kata Ferdianto.
Banyak kalangan menilai bahwa perkara ini mengandung banyak kejanggalan sejak awal. Tidak ada saksi mata yang melihat langsung Gasper mengambil pisang cavendish dari kebun korban. Bukti berupa satu tandan pisang yang ditemukan di sekitar rumah Gasper pun tak bisa dihubungkan secara forensik dengan lokasi pencurian.
“Kami sejak awal menduga bahwa ini adalah kasus salah tangkap,” ujar salah satu pengacara LBH Surya NTT. Ia menambahkan, dalam pemeriksaan awal, Gasper bahkan tidak didampingi penasihat hukum, suatu pelanggaran prinsip dasar hak terdakwa.
Di balik pembebasan Gasper, pertanyaan yang lebih besar mengemuka: bagaimana mungkin seorang warga bisa ditahan selama berbulan-bulan tanpa bukti memadai? Kejaksaan dan kepolisian dinilai gagal dalam fungsi dasar mereka: memastikan bahwa hanya mereka yang sungguh-sungguh bersalah yang dibawa ke meja hijau.
“Ini bukan soal pisang. Ini soal profesionalisme dan tanggung jawab aparat penegak hukum. Jika Gasper bisa dituduh tanpa bukti, siapa lagi yang bisa dijamin keamanannya?” ungkap seorang akademisi hukum dari Universitas Nusa Cendana yang enggan disebutkan namanya.
Menurutnya, kasus Gasper adalah cerminan dari lemahnya sistem filter dalam penyidikan dan penuntutan pidana di daerah.
Setelah vonis bebas ini, tim hukum Gasper menyatakan akan mempertimbangkan langkah hukum lanjutan berupa gugatan rehabilitasi dan praperadilan. Mereka ingin memulihkan nama baik Gasper serta menuntut pertanggungjawaban institusi penegak hukum yang dianggap gegabah dalam menangani perkara ini.
“Negara tidak bisa lepas tangan. Reputasi dan psikologi Gasper hancur. Keluarganya juga mengalami tekanan sosial dan ekonomi. Ini harus dipulihkan secara hukum dan moral,” tegas Ferdianto.
Kasus ini menjadi cermin buram bagi wajah penegakan hukum di daerah, khususnya Kabupaten Kupang. Di tengah semangat reformasi peradilan dan peningkatan kepercayaan publik terhadap hukum, kasus seperti ini justru menunjukkan betapa rapuhnya sistem saat menyentuh warga kecil.
Gasper bukan pejabat, bukan orang berpengaruh. Ia hanyalah seorang petani biasa. Dan justru karena itu, ia menjadi mudah dikorbankan oleh sistem yang lebih percaya pada laporan sepihak daripada investigasi menyeluruh.
Sementara itu, pelaku sebenarnya pencurian pisang cavendish belum ditemukan hingga hari ini. Tim kuasa hukum Gasper bahkan mendesak agar penyelidikan dilanjutkan demi mengungkap kebenaran yang sesungguhnya.
“Kasus ini belum selesai. Korban tetap ada, kerugian tetap nyata, pelaku masih bebas. Keadilan tidak akan lengkap tanpa pengungkapan pelaku sebenarnya,” pungkas Ferdianto.