Oelamasi, kupang-media.net | Sengketa antara petani rumput laut Desa Lifuleo dan PLTU Timor 1 akhirnya menemui titik temu. Namun, jalan menuju penyelesaian itu menyisakan sorotan tajam terhadap lemahnya pengawasan lingkungan dan kinerja pemerintah daerah.
Pertemuan penyelesaian berlangsung di ruang rapat Sekda Kabupaten Kupang, Oelamasi, dan difasilitasi langsung oleh Bupati Kupang, Yosef Lede. Pertemuan tersebut dihadiri perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTT, DLH Kabupaten Kupang, akademisi dari UKAW dan Politeknik Kelautan Kupang, serta dua anggota DPRD.
Permasalahan bermula dari keluhan petani rumput laut yang mendapati hasil panen mereka merosot drastis sejak adanya limbah buangan dari PLTU Timor 1 ke laut sekitar. Meski pihak PLTU berdalih limbah tersebut “aman” berdasarkan kajian akademis, kenyataan di lapangan menunjukkan ada dampak buruk terhadap lingkungan laut.
“Kami belum punya kemampuan analisa limbah secara mandiri, namun hasil kajian akademisi menyatakan limbah aman,” kata Yosef Lede dalam keterangannya. “Tetapi kita tidak menutup mata bahwa ada kerusakan lingkungan yang dirasakan masyarakat. Karena itu pengawasan harus diperketat.”
Lede mengakui adanya kelalaian dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kupang dalam memantau pembuangan limbah industri. Ia langsung menginstruksikan peningkatan pengawasan terhadap seluruh pabrik yang membuang limbah ke alam, serta memperketat izin AMDAL.
Namun, solusi teknis pun ditawarkan: bibit rumput laut. Hasil analisis akademik menunjukkan bahwa bibit yang digunakan petani sudah tua atau kadaluarsa. PLTU Timor 1 akhirnya menyanggupi permintaan untuk membantu masyarakat dengan menyediakan bibit rumput laut unggul dan tali pengikatnya.
“PLTU Timor 1 ini milik negara, jadi sudah semestinya berpihak kepada rakyat. Saya minta masyarakat juga bersyukur atas bantuan jalan hotmix dan bibit baru dari PLTU,” tegas Lede, menyiratkan harapan sekaligus penegasan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan tidak boleh berhenti pada formalitas.
Meski ketegangan mereda, kasus ini menyisakan catatan penting. Di satu sisi, ada itikad baik menyelesaikan persoalan melalui mediasi. Namun di sisi lain, lemahnya kontrol lingkungan membuka ruang bagi pencemaran yang berdampak langsung pada sumber penghidupan masyarakat pesisir.
Tanpa kemampuan pengawasan laboratorium yang memadai dan ketegasan dalam menegakkan regulasi lingkungan, penyelesaian serupa hanya akan menjadi tambal sulam—bukan perubahan sistemik.