OELAMASI, kupang-media.net | Di tengah semilir angin pagi di Lapangan Bumi Beringin, Lelogama, Kamis (19/6), suara seorang anak perempuan menggema, memecah hening dengan narasi yang tak sekadar puitis, tetapi sarat makna dan menggugah kesadaran budaya. Febrina Tamoes, siswi kelas 4 SD Negeri 1 Lelogama, yang pada Festival Budaya Anak Amfoang tampil membacakan puisi tentang tanah leluhurnya tanah yang oleh para tertua disebut Pah Binoni, Bumi Perak dan Emas.
Penampilannya sederhana. Seragam sekolah, rambut dikepang, dan sepasang sandal. Tapi yang keluar dari bibir mungilnya adalah suara yang menghentak batin siapa pun yang mendengar. Dengan nada tegas namun jujur, Febrina membacakan sejarah Amfoang yang diwariskan secara lisan dari para pendeta dan tetua adat. Ia tidak sekadar membaca puisi, ia menyerukan ingatan kolektif masyarakat yang mulai kabur diterpa arus zaman.
“Lebah kecil menari, sari bunga mereka kumpulkan, Sarangnya bersih seperti perak, madunya manis seperti emas, Maka tanah ini disebut Bumi Perak dan Emas.Yuk, kita jaga ya!”
Tak butuh banyak efek panggung atau teknologi mutakhir untuk membuat Festival Budaya ini berkesan. Cukup satu suara anak desa, dan semua orang dewasa—pejabat, tokoh adat, guru, bahkan petani—terdiam. Tak sedikit yang menahan air mata.
Wakil Bupati Kupang, Aurum Obe Titu Eki, yang hadir dalam acara itu, tampak berkaca-kaca. “Jarang sekali ada anak zaman sekarang yang mampu menyampaikan pesan budaya dengan penghayatan seperti ini,” ucapnya. Ia mengaku tersentak bukan hanya karena puisinya menyentuh, tapi karena yang membacakannya adalah seorang anak kecil yang belum hidup di zaman para leluhur, namun menyuarakan sejarah mereka seolah ia pernah mengalaminya sendiri.
“Ini bukan sekadar festival. Ini adalah ruang sakral di mana warisan leluhur bernafas kembali lewat suara anak-anak,” tambahnya.
Festival Budaya Anak Amfoang sendiri mengangkat tema besar: Mengenal, Mencintai, dan Melindungi Budaya Amfoang. Bukan sekadar perayaan tahunan, festival ini menjadi ruang refleksi bersama—terutama di tengah derasnya arus digital yang pelan-pelan mengikis identitas lokal.
Apa yang ditampilkan Febrina bukan hanya puisi. Ia adalah suara yang membawa pesan penting: bahwa anak-anak di desa juga punya tempat dalam sejarah, dan bahkan bisa menjadi penggerak utama pelestarian budaya. Ketulusan ucapannya lebih kuat dari pidato-pidato resmi.
Penampilan Febrina menjadi metafora tentang harapan. Di balik wajah polos anak-anak desa, tersimpan daya hidup budaya yang tak bisa diremehkan. Mereka bukan sekadar penonton masa lalu, melainkan juru bicara masa depan.
Dan ketika Febrina menutup penampilannya dengan kalimat, “Yuk kita jaga ya, kawan. Terima kasih”, itu bukan penutup biasa. Ia adalah seruan moral yang tulus, yang mestinya menggema di gedung-gedung pemerintah, ruang kelas, dan rumah-rumah kita: bahwa menjaga budaya bukan tugas segelintir orang, tapi tanggung jawab kita semua.
Dari desa kecil bernama Lelogama, dari seorang anak bernama Febrina, Indonesia kembali diingatkan: bahwa kekayaan terbesar bangsa ini tak hanya tersimpan di kota besar atau ruang birokrasi, tetapi hidup dan tumbuh di tanah yang disebut Bumi Perak dan Emas.