“Suasana ruang audiensi memanas. Berkali-kali, utusan dari kelompok massa memotong pembicaraan pejabat, menolak mendengar penjelasan, bahkan menginterupsi sebelum pertanyaan dijawab. Seolah-olah ruang audiensi adalah perpanjangan panggung orasi, bukan tempat membangun solusi”.
OELAMASI, kupang-media.net | Aksi demonstrasi yang digelar puluhan warga eks Timor-Timur, Rabu siang (11/6), di halaman Kantor Bupati Kupang, semula dimaknai sebagai simbol keberanian rakyat kecil yang menggugat ketimpangan. Namun, ruang audiensi yang dibuka oleh pemerintah justru menjadi panggung kekisruhan, ketika etika publik tersisih oleh kegaduhan suara.
Aliansi Nasional untuk Demokrasi Baru (ANDB NTT), yang beraliansi dengan AGRA, Front Mahasiswa Nasional (FMN), dan IKIF, membawa agenda besar: konflik agraria di Naibonat yang tak kunjung tuntas. Massa menuntut kejelasan hak atas tanah, menyoal ketimpangan struktural, dan mendesak reformasi agraria. Namun, ketika forum resmi dibuka oleh Wakil Bupati Kupang, Aurum Titu Eki, dan Plt. Sekda Marthen Rahakbauw, pemandangan yang tersaji jauh dari semangat deliberasi yang mereka gaungkan.
Pantauan media ini, suasana ruang audiensi dengan cepat memanas. Berkali-kali, utusan dari kelompok massa memotong pembicaraan pejabat, menolak mendengar penjelasan, bahkan menginterupsi sebelum pertanyaan dijawab. Seolah-olah ruang audiensi adalah perpanjangan panggung orasi, bukan tempat membangun solusi.
Ironisnya, pihak pemerintah yang kerap dituding tidak membuka ruang dialog hari itu justru memilih diam dan mendengar. Wakil Bupati duduk tenang, memberikan waktu penuh bagi para demonstran untuk berbicara. Namun, sikap hormat itu tak berbalas. Diskusi yang seharusnya membuka jalan tengah berubah menjadi monolog penuh emosi.
Tak ada yang menyangkal bahwa memperjuangkan hak atas tanah adalah bagian dari cita-cita keadilan sosial. Namun demokrasi bukan hanya tentang suara yang lantang, melainkan juga tentang cara menyuarakannya. Demokrasi tanpa etika hanya akan menghasilkan gaduh, bukan gagasan.
Di tengah tuntutan agraria yang sah dan mendesak, tindakan sebagian perwakilan massa justru menodai perjuangan itu sendiri. Forum resmi yang semestinya jadi ruang penyambung lidah rakyat berubah menjadi arena konfrontatif yang miskin solusi.
Demokrasi, sebagaimana pernah ditulis Hannah Arendt, bukan tentang siapa yang paling keras bersuara, tapi siapa yang mampu merumuskan kepentingan bersama. Ketika ruang aspirasi didekati dengan emosi dan ego, maka pesan akan tenggelam dalam bisingnya perdebatan yang tak berpijak.