NTT, kupang-media.net | Sebuah upacara penuh adat dan penghormatan digelar di Aula Bapelkes, Kamis (29/5) sore, saat Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur, Johanis Asadoma, menghadiri pelantikan pengurus baru Ikatan Keluarga Manggarai Raya (IKMR) Kupang periode 2025–2029. Tarian adat, doa leluhur, dan penyambutan simbolik menjadi penanda kehangatan budaya yang masih hidup dalam denyut warga Manggarai di perantauan.
Namun, di balik gegap gempita sambutan dan janji-janji seremonial, ada suara lain yang lebih lirih dan kerap tak terdengar suara warga biasa, yang mengais hidup di sudut-sudut kota, menghadapi persoalan sosial yang nyata: mahalnya biaya sewa rumah, sulitnya mencari kerja layak, stigma etnis, dan minimnya perlindungan sosial.
Wagub Johni dalam pidatonya menyebut IKMR sebagai “Mbaru Gendang” atau rumah besar warga Manggarai Raya di Kupang. Ia berharap IKMR dapat menjadi mitra pembangunan dan pelopor solidaritas sosial. Tapi di luar ruangan ber-AC dan tenda dekoratif itu, “rumah” warga Manggarai di perkotaan masih sering tak berdinding, tak beratap, tak terlihat.
“IKMR hendaknya menjadi tempat bermusyawarah,” kata Wagub. Namun siapa yang sungguh-sungguh mendengarkan musyawarah rakyat, jika suara mereka hanya terdengar saat kampanye atau perayaan
Kehadiran pejabat dalam forum-forum budaya memang penting, namun akan lebih bermakna jika dibarengi intervensi sosial yang konkret. Banyak warga Manggarai di Kupang masih bekerja serabutan, tanpa jaminan kesehatan dan tempat tinggal tetap. Belum lagi generasi muda Manggarai yang mengalami keterasingan identitas karena sistem pendidikan yang tak menghargai keberagaman budaya lokal.
Program seperti One Village One Product (OVOP) dan Gerakan Beli NTT disebut dalam pidato Wagub sebagai solusi. Tapi pertanyaannya: apakah warga IKMR punya akses modal, pelatihan, dan pendampingan nyata untuk masuk ke pasar dan rantai produksi Jika tidak, program-program itu hanya akan menjadi slogan, hiasan di spanduk, bukan jembatan kesejahteraan.
“IKMR harus berdampak bagi seluruh masyarakat NTT,” ujar Wagub. Tapi dampak seperti apa, jika forum ini hanya menjadi simbol dan bukan instrumen
Budaya tidak boleh menjadi hiasan belaka. Ia harus menjadi jendela kearifan dan dasar keberpihakan. Saat seorang pejabat dihormati dengan adat, ia memikul beban moral untuk benar-benar hadir dalam hidup rakyat, bukan hanya hadir dalam acara.
IKMR adalah simbol kekeluargaan, tetapi juga harapan. Harapan agar pejabat tak sekadar datang untuk bersalaman dan berfoto, tapi datang untuk mendengarkan, untuk melihat dari dekat luka-luka sosial yang selama ini tersembunyi di balik sopan santun dan senyum formal warga.
Dalam dunia yang semakin ramai oleh seremoni, mari kita beri tempat bagi aksi nyata. Sebab “rumah besar” tak bisa dibangun dengan kata-kata, ia perlu fondasi berupa keadilan, keberpihakan, dan keberanian untuk bertindak.