OELAMASI, kupang-media.net | Di tengah geliat modernisasi yang sering melupakan akar, pemandangan tak biasa tersaji di Bendungan Leter-T, Kelurahan Babau, Kabupaten Kupang. Bukan seremoni mewah atau sambutan berapi-api yang jadi sorotan, melainkan sosok Wakil Bupati Kupang, Aurum Obe Titu Eki, yang memilih duduk bersila di pematang sawah, menyantap jagung rebus bersama para ibu petani.
Tanpa protokoler ketat, tanpa jarak sosial ala birokrasi, Aurum hadir sebagai manusia biasa—mendengar, tertawa, dan menyatu. Dalam gelaran Panen Raya Padi, Kamis (22/5), momen ini mencuri perhatian publik bukan hanya karena hasil panen, tapi karena gestur kepemimpinan yang makin langka di era pencitraan digital.
Hadir pula Forkopimda NTT serta jajaran Komandan dan Pasis Dikreg LIII Sesko TNI TA 2025, namun perhatian publik tertambat pada aksi simbolik Aurum: kepemimpinan yang membumi, bukan mengangkasa.
Anak dari mantan Bupati dua periode, Ayub Titu Eki, Aurum tak menunggang nama besar, melainkan membuktikan bahwa darah kepemimpinan bisa diwariskan—asal dihidupi dengan empati dan kehadiran nyata. Ketika banyak pejabat sibuk merancang program dari balik meja, Aurum justru duduk di tanah yang basah oleh keringat petani.
Panen raya ini menjadi refleksi lebih dari sekadar agenda tahunan. Ia adalah pengingat tajam bahwa ketahanan pangan tidak dibangun dari rapat-rapat elit, tapi dari tangan-tangan kasar petani yang terus bekerja dalam diam.
Masyarakat yang hadir tak hanya bangga—mereka merasa dihormati. Dan dalam konteks budaya Timor yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan kerja keras, gestur kecil dari pemimpin bisa menjadi pesan moral yang menggema lebih keras daripada ribuan slogan.
Aurum Obe Titu Eki tidak sedang berakting. Ia sedang mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah soal kehadiran. Dan mungkin, di tengah krisis kepercayaan terhadap pejabat publik, kita butuh lebih banyak pemimpin yang berani duduk bersila di tengah sawah, bukan berdiri di menara gading.