Gebrakan Pasar Lili, dr. Amaheka Bicara Jujur untuk Kab.Kupang
Kabupaten Kupang, tengah berada di persimpangan. Di satu sisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 yang seharusnya menjadi pedoman pengelolaan pasar dan koperasi justru menuai kritik karena kesalahan teknis. Namun di sisi lain, kisah sukses Pasar Lili dan program Koperasi Merah Putih menjadi cahaya terang yang mengubah wajah ekonomi lokal.
Opini ini dikutip saat diskusi santai, bertajuk “Ngopi Suara Harapan” yang digelar di Pantai Wisata Sulamanda, oleh Redaksi Suara Harapan.
dr. Robert Alen Johanes Amaheka, Plt. Kepala Dinas Perindagkop dan UMKM Kabupaten Kupang, akhirnya buka suara.”Memang ada kesalahan teknis dari tim asistensi Perda. Ini yang sedang kami benahi bersama tim hukum agar bisa diperbaiki,” ujarnya, tanpa menutup-nutupi.
Sikap transparan ini jarang ditemukan di kalangan birokrasi. Dan justru di situlah letak kekuatannya.
Pasar Lili: Dari Pasar Tradisional, Mesin Uang Kabupaten Kupang
Sambil menyeruput kopi di pinggir pantai, dr. Amaheka memaparkan kisah transformasi Pasar Lili. Dulu, pasar ini hanya menyumbang pendapatan sekitar Rp 300 juta per tahun. Namun sejak dikelola secara profesional oleh GMIT BET’EL Lili, pendapatan meroket ke angka lebih dari Rp 1 miliar.
“Ini bukti nyata. Ketika tata kelola diperbaiki, hasilnya luar biasa,” katanya penuh semangat.
Koperasi Merah Putih: Sembako Gratis, Ekonomi Bangkit
Tak berhenti di situ, Pemkab Kupang juga tengah menjajaki integrasi antara pasar rakyat dan program Koperasi Merah Putih. Koperasi ini menyediakan gerai sembako dan makan siang gratis, yang ditujukan untuk meringankan beban masyarakat dan menghidupkan UMKM lokal.
> “Kalau kita koneksikan ini dengan baik, akan ada lompatan besar dalam pertumbuhan ekonomi daerah,” ujar Amaheka optimistis.
Kritik, Solusi, dan Harapan Baru
Tentu, publik menyorot kegagalan teknis dalam penyusunan Perda. Tapi alih-alih defensif, dr. Amaheka mengajak masyarakat untuk melihat ke depan.
“Tidak ada yang tidak bisa diperbaiki. Mari duduk bersama mencari solusi. Kepercayaan itu mahal, jadi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.”
Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, narasi seperti ini menjadi oase: pemimpin yang tidak alergi kritik, tapi justru menjadikannya batu loncatan untuk perbaikan.
Kupang hari ini mungkin belum sempurna. Tapi jika semangat transparansi dan kolaborasi seperti ini terus dijaga, bukan tak mungkin Kabupaten Kupang menjadi model pembangunan ekonomi kerakyatan di NTT, bahkan nasional.