Jakarta,- Sulawesi Tenggara adalah bumi yang dikarunia oleh Tuhan yang maha Esa, begitu subur, makmur dan berlimpah sumber daya alam (SDA) nya. Kekayaan SDA ini dapat terlihat jelas pada beberapa daerah kabupaten yang terkait didalam propinsi ini.
Namun sayangnya, saat ini sedang terjadi mimpi buruk bagi masyarakat di Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Konawe Selatan, dan Kabupaten Kolaka Utara dimana 1kekayaan SDA itu telah diambil dan dirampas paksa oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Mereka secara bersama-sama melancarkan aksi itu melalui kelompok kaum kapitalis dan para oknum pejabat yang menyelewengkan SDA Sulawesi Tenggara (Sultra).
Sumber daya alam yang ada kerap disalahgunakan oleh segelintir orang, para kaum bandit maupun elit politik. Hal ini tanpa disadari telah terjadi sejak kurun waktu empat belas tahun yang lalu sejak diberlakukannya UU Minerba tahun 2009. Sejak saat itulah Sultra sudah menjadi objek rebutan para oknum pejabat yang berprofesi sebagai makelar penjualan aset alam milik warga masyarakat Sultra .
Fenomena ini kemudian menjadi suatu hal yang dianggap lumrah dalam Negara, sehingga yang terjadi dan terjadi lagi adalah kemiskinan menimpa masyarakat, mengapa tidak disebabkan telah terjadinya kehilangan mata pencaharian hidup masyarakat adat tolaki seperti mencari rotan dibuat untuk kerajinan local termasuk bahan dasar Kalosara, daun enau dibuat tikar dan masih banyak lagi kebutuhan hidup yang berasal dari hutan., (Mengutip kata-kata orang Tolaki). Inae Konasara Iye Pinesara, Inae Lia Sara Iye Pinekasara artinya Barang Siapa yang menjunjung Tinggi Adat dia Dihormati dan Barang Siapa yang Tidak Menghargai Adat dia dihukum. Kata kata inilah menjadi sebuah rujukan Hukum Adat Tolaki sejak dahulu kala sampai sekarang ini.,
Dahulu kala sektor perkebunan, pertanian, perikanan, yang merupakan primadona masyarakat dalam menghidupi keluarganya Sebaliknya Kondisi sekarang ini membuat masyarakat memiliki ketergantungan terhadap sektor pertambangan, sehingga perekonomian domestik akan menjadi sangat lemah dan rentan bahkan mati suri. Dampaknya masyarakat bukan lagi mati suri, akan tetapi mati selamanya di atas tanah Merah lumpur kekeringan dan banjir. Masyarakatlah yang menanggung kerusakan alam yang amat parah dan inilah yang menjadi akar permasalahan kemiskinan, kerusakan, dan tidak terwujudnya keadilan, kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat Adat Tolaki Sulawesi Tenggara.
Dalam jangka panjang kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada sektor ekonomi saja, tetapi juga pada aspek sosial, budaya, dan politik. Sumber daya alam dengan potensi keuangan yang cukup besar akan membuat penguasa cenderung melakukan penyelewengan-penyelewengan guna mempertahankan kekuasaannya. Yang pada akhirnya dapat berakibat, mereka bebas menguasai secara individu dan kelompok sumber daya alam Sultra yang ada utamanya dibumi KALOSARA.
Hasil rampokkan kekayaan alam dipakai untuk memuaskan nafsu kekuasaan, untuk anak keluarga beserta kroni kroninya. Sementara masyarakat Adat Tolaki yang menjadi korban dari gerakan ini terus dininabobokan dengan sejumlah janji janji dan pencitraan. Dalam hal ini khususnya rakyat petani dan atau kaum terpinggir lainnya, hanya dijadikan komoditi ekonomi dan politik bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Hukum yang mengatur tentang larangan membantai SDA secara sporadis dan dapat memberikan kenyamanan perlindungan kepada SDA itupun, seolah berpindah kedudukannya untuk mendukung aktivitas para bandit elit itu untuk terus merusak dan menguasai unsur-unsur SDA itu untuk kepentingan mereka.
Suka atau tidak suka, setuju ataupun tidak setuju tetapi fakta hari ini menunjukan bahwa akibat tindakan membabi buta dan keberpihakan hukum yang tidak lagi berdiri pada marwahnya, telah menciptakan kerusakan alam yang tidak lagi berbentuk sebagaimana mestinya. Alam yang ditambang, tidak mendapat hak reklamasi. Bagaikan bangkai tak bernilai, lahan tambang itu ditinggalkan begitu saja tanpa memikirkan dampak kekeringan dan banjir yang akan terjadi pabila tidak dikembalikan seperti sediakala.
Jika terus dibiarkan, maka jangan pernah berharap kita akan meninggalkan cerita indah tentang daerah ini kepada generasi penerus kita, bahwa sejarah daerah ini pernah dibangun oleh nenek moyang kita, dengan membuat Kalosara sebagai simbol hukum adat Tolaki yang bahannya berasal dari hutan yaitu rotan dan enau.(*Erik/ Opini Sekjen Masyarakat Adat Tolaki: Adi Yusuf Tamburaka (AYT)