OELAMASI, kupang-media.net,- Mantan Bupati Kupang dua periode, Drs. Ayub Titu Eki, M.S., Ph.D menyebutkan, pemerintahan kabupaten kupang yang sekarang harus mampu membuktikan kalau PT. Royal Timor Ostrindo telah memiliki sertifikat HGU dari Pemerintah Kabupaten Kupang sebelumnya. Karena menurutnya dibawah tahun 2013 dalam masa jabatannya, pihak Pemkab Kupang tidak pernah mengusulkannya ke pemerintah pusat.
Ayub Titu Eki yang dikonfirmasi di kediamannya Rabu (04/07) malam saat di minta penjelasannya terkait penerbitan sertifikat HGU untuk kepemilikan PT. Royal Timor Ostrindo yang pada saat itu digunakan untuk program penangkaran burung unta, serta atas lahan bekas pakai PT. Royal Timor Ostrindo tersebut telah ditetapkan sebagai tanah terlantar berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor: 12/PTT-HGU/BPN RI/2013 dan mengingat pada saat tahun penerbitan SK Kepala BPN tersebut, dirinya masih menjabat sebagai Bupati Kupang menuturkan, semasa jabatannya itu dirinya telah melakukan inventarisasi sertifikat HGU yang telah diterbitkan sebelum masa pemerintahannya dua periode.
“Waktu menjabat, saya pernah memerintahkan kepada staf-staf saya untuk melakukan penelusuran dan menginventarisir sejumlah kepemilikan sertifikat HGU oleh perusahaan-perusahaan yang ada. Ternyata, dari hasil penelusuran itu didapati banyak yang tidak sesuai dengan prosedur, sehingga pada saat itu juga ada beberapa diantaranya yang saya batalkan perpanjangan masa aktif sertifikat HGU itu.
“Kalau soal adanya sertifikat HGU yang diberikan kepada PT. Royal Timor Ostrindo, saya kira pemerintah yang sekarang harus bisa membuktikan ada tidaknya sertifikat tersebut, karena banyak sertifikat HGU yang sudah saya hentikan.
“Seingat saya, lahan yang dimaksud itu adalah lahan dimana terjadinya pembangunan rumah bantuan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) antara tahun 2011 dan 2012. Dimana saya satu-satunya orang yang menolak untuk menandatangani dokumen kesiapan lahan untuk pembangunan rumah bantuan itu.
“Alasan saya tidak mau tanda tangan karena, saya tidak mau dibenturkan dengan masyarakat. Lahan itu milik masyarakat adat, sehingga kalau lahan itu mau digunakan untuk kegiatan pembangunan nasional harus pula memperhatikan hak-hak dari pemilik lahan adat tersebut”, urainya.
Ditanya soal apakah apakah lahan bekas pakai PT. Royal Timor Ostrindo tersebut pernah diusulkan pemerintah pada masa jabatannya, dirinya menyebutkan bahwa memang pada saat itu ada upaya, tetapi lagi-lagi dirinya menolak.
“Saya waktu itu dibisiki oleh staf untuk menandatangani dokumen dimaksud. Dia bilang nanti baru kita atur untuk bagi-bagi. Karena saya lihat ada upaya yang tidak baik itu, sehingga saya tegaskan lagi kepada mereka, saya tidak akan menandatanganinya.
“Dengan cara-cara mafia tanah seperti itu, saya sudah menduga bahwa suatu ketika pekerjaan itu akan menjadi bermasalah secara hukum. Buktinya ‘kan jelas, pekerjaan tidak bisa dilanjutkan karena ditemukannya tindak pidana korupsi, sampai ada staf saya yang terjerat pada kasus itu”, pungkasnya.(*Erik)